Saya merasa rutinitas buka puasa
dan sahur sendirian ini, lama-lama menggerus pertahanan diri saya, pertahanan
untuk tidak ‘cengeng dan manja’ dalam hidup. Ada kalanya saya tertegun ketika
menyusuri jalan pulang dari kantor, ketika kiri dan kanan jalan terlihat banyak
keluarga dengan aktivitas ngabuburit. Ada kalanya saya kesal pada acara sahur
di televisi yang gegap gempita menemani sahur saya dengan hidangan yang tak
perlu dihidangkan karena sahur seorang diri.
Ah, jarak ini membunuh saya
perlahan, saya sering menghiperbolakan keadaan. Tapi tak pernah saya bangun
di pagi hari dengan kondisi yang lebih buruk. Lalu, benarkah saya terbunuh?
Ternyata tidak, setiap hati saya terkikis ketika buka puasa dan sahur sendirian, seketika ia sembuh, saat sebait
pesan singkat masuk ; “Selamat berbuka puasa, Istri” atau “Selamat sahur, Ade”
Sesederhana itu.
Dan saya tahu saya akan baik-baik saja. Dan keyakinan itu masih ada, bahwa jarak tak
berarti banyak. Ia hanyalah sekumpulan jeda tempat kami menghimpun rindu untuk
kemudian bertemu dengan syahdu, menghitung mimpi-mimpi kami untuk dikalkulasikan
perwujudannya.
Dan rindu inipun saya simpan
dulu...
aduh....
ReplyDelete:)
DeleteAkhirnya... Kak Ade nulis lagi..
ReplyDeleteAkhirnya... Kak Ade nulis lagi..
ReplyDeletebelakangan agak rajin nulis, ka. cuma banyak yg gak dipublish. hehe... kamu nih, mana tulisannya? jgn status di sosmed aja? :D
Delete