Akhirnya kutipan Tere Liye
lah yang membantu saya mengurai keresahan yang saya alami hari-hari belakangan.
"Sebenarnya siapa yang membuat kita kecewa?
Kita sendiri. Bukan orang lain.
Kita tidak akan pernah kecewa jika kita selalu
mengendalikan harapan. Mau secanggih apapun orang lain memupuk pesonanya,
menimbun perhatiannya, kalau kita sempurna mengendalikan hati, no problem at all.
Mau se-PHP apapun orang2 ke kita, kalau kendali harapan itu di kita sendiri,
tidak akan mempan."
Keresahan saya bukan lagi
soal pesona dan timbunan perhatian atau PHP sekalipun, tapi soal rasa kecewa
dan mengendalikan harapan. Dulu saya sering bertanya, kenapa seseorang kecewa.
Dan segala jawaban yang saya temukan, akan bermuara pada satu titik konklusi :
karena seseorang itu berharap. Karena berharaplah, maka seseorang akan kecewa.
Lalu apakah dosa jika kita mempunyai harapan? Saya pikir, tidak. Justru
sebaliknya, apa jadinya hidup kalau dijalani tanpa berharap. Lalu harus
bagaimana? Mungkin dengan mulai menyadari, bahwa harapan dan kecewa adalah dua
sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan.
Maka, di sore ini, saya ‘disentil’
oleh status Tere Liye di laman sosial media. Tentang mengendalikan hati,
tentang mengendalikan harapan. Harapan, muncul dari sebuah kewajaran kehidupan.
Karena ketika ia dibentuk begitu muluk, maka bolehlah ia disebut angan-angan. Seseorang
bekerja, berharap akan dapat penghasilan. Seseorang berbuat baik, berharap akan
diperlakukan baik pula oleh orang lain. Dan seterusnya. Kewajaran. Kewajaran
ini yang kemudian harus distandarkan, apalagi jika harapan itu melibatkan orang
lain di luar diri sendiri. Tapi bagaimana mungkin, harapan, sesuatu yang
abstract, bisa dibuat pakem bakunya? Nah, di sana lah mungkin terjadi apa yang
disebut pengendalian tadi.
Ah, ini begitu rumit. Begini
saja, ketika anda berharap, maka sewajarnya lah. Kalau anda berharap pada diri
sendiri, yang perlu anda lakukan adalah berusaha sekuat tenaga memenuhi harapan
itu. Kalau harapan tadi memerlukan keterlibatan orang lain, maka kendalikanlah
hati anda. Dan setelahnya, siap-siap kecewa dan terluka, jika harapan anda menguap
begitu saja.
Dan kemudian, berbagai
fragmen terlintas dalam benak saya. Ditutup oleh adegan di King Cross Station
di Peron 9 ¾ pada adegan penutup dari novel dan film Harry Potter seri
terakhir, The Deathly Hallows dimana Harry, Ron dan Hermione, mengantar
anak-anak mereka dalam perjalanan menuju Hogwarts. Lalu bergantian dengan adegan
paling akhir dari novel dan buku 5 CM, dimana lima sahabat,
Genta-Arial-Zafran-Riani-Ian berkumpul kembali dengan anak-anak mereka mentransfer
ideologi yang dulu mereka yakini selagi muda. Bercerita tentang apa yg mereka
lalui, apa yang mereka yakini benar, dan apa yang membuat mereka menghargai
sebuah persahabatan.
Ah, ternyata sekarang itu
harapan yang muluk. Yang secara kekerabatan dekat dengan angan-angan. Maka, harusnya
saya mulai kekecewaan ini sejak masa entah, dimana kata istimewa harusnya tak
pernah ada.
No comments:
Post a Comment