Postingan ini saya tulis saat
suhu tubuh cukup tinggi dan nyeri di sebagian kaki kiri. Saya pikir, saya harus
tuliskan ini. Telah lama hal ini merisaukan saya, sering saya utarakan dalam
status di media sosial, tapi kali ini saya ingin menyampaikannya dengan lebih
detail. Saya mengalami musibah dan yang lebih menyakitkan saya ternyata
bukanlah luka fisik, tetapi perasaan nelangsa ketika orang-orang sekitar tak
lagi punya empati
Sore yang mendung, ketika saya
dan mama melakukan perjalanan menuju kawinan saudara sepupu. Motor melaju
pelan, hanya 40 km/jam. Mama saya takut kalau naik motor kencang-kencang. Tapi
malang tak dapat ditolak. Kendati sudah hati-hati, lobang di jalanan yang
tertutup air hujan jadi penyebab motor tidak stabil, dan saya tidak ingat
persis prosesnya, yang saya tahu, kami tergolek di pinggir kiri jalan, dengan motor
rebah menghimpit kami berdua. Saya diam sejenak, segera melihat kondisi mama
saya. Kakinya berdarah, lecet dan tersungkur. Saya bantu beliau berdiri, saya
dudukkan di pinggir jalan yang lebih aman. Saya lihat sekeliling, orang-orang
tetap lalu lalang. Ada motor yang berhenti, tapi pergi lagi ketika melihat saya
bisa bangkit sendiri. Mungkin si pengendara sedang buru-buru. Saya bereskan tas
dan helm yang bertebaran. Saya berdirikan motor yang rebahnya agak ke tengah
jalan. Saya cari tissu dari dalam tas, saya lap luka-luka kami, pasir-pasir
basah yang menempel dan mengotori pakaian kami, dan saat itu saya takjub. Belum
ada yang menghampiri kami. Jangankan untuk membantu, untuk bertanya apakah kami
berdua baik-baik saja, tidak ada yang datang.
Saya lihat sekeliling. Posisi
kami terjatuh berada di depan sebuah bengkel dengan sekitar 5 pekerja yang
sedang sibuk, di sebelahnya ada toko aksesoris kendaraan, beberapa meter
sebelumnya ada mini market dengan beberapa orang sedang berada di dekat pintu
masuk. Saya nelangsa. Mencoba berpikir positif mungkin pekerjaan mereka
deadline, mungkin mereka tidak boleh meninggalkan posisi atau ada bom yang akan
meledak jika mereka bergerak menuju kami. Entahlah... Saya pun tak tahu apa
yang saya harapkan dari reaksi mereka atas peristiwa yang saya alami. Tapi
mungkin rasanya akan sedikit melegakan jika ada yang datang, kalaulah tidak
menawarkan segelas air, bertanya apa kami berdua baik-baik saja pun rasanya
sudah cukup.
Ada apa dengan empati? Keinginan
untuk menolong, meleburkan emosi menjadi sama dengan emosi orang lain yang
sedang mengalami kejadian yang tidak menyenangan, mengetahui apa yang orang
lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan
garis antara diri sendiri dan orang lain, ada apa dengan itu semua?
Saya masih ingat, bocah malang
siswa SMP di kota ini yang mengalami kecelakaan saat sedang berada di atas
kereta api. Ia terjatuh dari kereta, tersangkut di rel, terlindas dengan kepala
terputus dari badan. Entah dalam hitungan keberapa orangg-orang datang
mengerumuni, memfoto kondisi korban yang mengenaskan tersebut. Dan foto itu
beredar luas. Jangan salahkan teknologi. Justru teknologi yang menampar kita,
kemana hati nurani. Bahkan dalam foto-foto yang beredar itu tertangkap bahwa
orang-orang di sekitar lokasi melakukan hal yang sama, memegang handphone,
mengarahkannya pada tubuh korban yang
mengenaskan, dan mengabadikannya. Tak ada yang punya niat untuk mencari kain,
koran atau bahkan daun pisang untuk menutup tubuh bocah malang itu sampai
polisi datang.
Ada apa dengan empati? Sebebal
itukah kita hari ini? Setiap peristiwa tragis, kita mengabadikannya dan dengan
bangga mengupload dan membagikannya. Jika itu membantu merunut tragedi atau
membantu identifikasi tak masalah, itupun tidak untuk dikonsumsi umum tanpa
filter bukan? Ini hanya menonjolkan
keadaan yang mengenaskan, tanpa etika, tanpa hati. Lalu untuk apa? Tidakkah
hati kecil kita mengingatkan, bagaimana kalau keluarga kita yang mengalami
kecelakaan tersebut? Apakah hidup kita akan baik-baik saja, tidak akan
mengalami tragedi, kecelakaan atau hal buruk lainnya? Bagaimana kalau kita yang
berada di posisi itu, adakah yang ber-empati, membantu, dan ikut turun tangan
seperti juga merasakan penderitaan yang sama?
Entahlah... Saya pun tak ingin
mengklaim bahwa tak ada lagi manusia ber-empati hari ini. Saya tak ingin
men-generalisir bahwa semua orang tak peduli dan tak punya nurani. Mungkin
masih banyak yang akan melakukan hal sebaliknya dari kejadian-kejadin tadi.
Hanya saja mereka tak ada di lokasi itu pada waktu itu. Bisa jadi, mungkin
saja. Entahlah...
Dan pertanyaan itu masih tersisa.
Ada apa dengan empati?
merinding baca ini
ReplyDelete